Cuaca panas ekstrem sedang banyak dirasakan oleh penduduk di Indonesia. Ancaman perubahan iklim sudah sangat nyata dirasakan, mulai dari suhu yang semakin panas, kekeringan, hingga krisis pangan. Warga Jakarta tentu tidak luput dari dampak kenaikan suhu udara ini.
Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan hal yang sulit untuk dihindari dan telah memberikan dampak di berbagai sisi kehidupan. Perubahan pola hujan, pergeseran musim, kenaikan suhu, dan kenaikan muka air laut akan menimbulkan banyak implikasi di berbagai sektor. Tanpa adanya upaya mitigasi dan adaptasi, dampak dari perubahan iklim akan semakin sulit untuk dikendalikan dan pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan pembangunan.
Untuk dapat mengurangi dampak dari perubahan iklim terhadap kehidupan, tentu dibutuhkan kerjasama dari seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, swasta, hingga masyarakat untuk melakukan mitigasi dan adaptasi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah melakukan upaya dalam aksi iklim, baik mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim sejak 2007.
Demi mempercepat aksi iklim, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menyepakati kesepakatan global sesuai Perjanjian Paris dan berkontribusi secara nasional dalam National Determined Contribution (NDC) yakni, penetapan Net Zero Emission (NZE) pada 2050 dengan menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 30% dan target ambisius sebesar 50% pada 2030. Komitmen ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 90/2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah yang Berketahanan Iklim, di mana di dalamnya juga terdapat internalisasi Aksi Mitigasi dan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim.
Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer diyakini telah menyebabkan terjadinya masalah perubahan iklim. Data laporan profil emisi Jakarta tahun 2022 menyebut secara total, tahun 2021 emisi GRK yang bersumber dari penggunaan listrik merupakan kontributor utama emisi GRK DKI Jakarta dengan porsi sebesar 52%, disusul oleh emisi langsung (transportasi, industri, komersial, rumah tangga dan lain-lain) sebanyak 29%, serta pembakaran dari pembangkit listrik sebesar 15%. Jika emisi tidak langsung penggunaan listrik tidak dimasukkan ke dalam sumber emisi GRK, maka sektor transportasi menjadi kontributor terbesar penyumbang emisi GRK yakni sebesar 53%.
Sumber: Laporan Inventarisasi Profil Emisi dan Pelaporan Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi DKI Jakarta 2022
Saat ini transportasi darat merupakan transportasi yang memegang peranan penting dalam mobilisasi masyarakat DKI Jakarta. Hal ini terlihat dari data jumlah kendaraan di DKI Jakarta yang menunjukkan kenaikan jumlah kendaraan tiap tahunnya, dimana kendaraan yang mendominasi ialah sepeda motor diikuti dengan mobil penumpang.
Sumber: Statistik Transportasi DKI Jakarta, 2021
Bertambahnya jumlah kendaraan pribadi yang melampaui batas telah menimbulkan banyak persoalan. Kemacetan mulai muncul dimana-mana, terbatasnya lahan parkir kendaraan juga menimbulkan masalah tersendiri, polusi udara yang mencemari lingkungan kian mengkhawatirkan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk #AksiJagaIklim mengurangi polutan di Jakarta adalah dengan memaksimalkan penggunaan transportasi umum.
Saat ini, sudah tersedia banyak moda transportasi publik di Jakarta yang terhubung satu sama lain atau terintegrasi sehingga perjalanan masyarakat dapat lebih nyaman, aman dan mudah. Sejumlah moda transportasi umum seperti Transjakarta, MRT, LRT sudah menggunakan pembayaran integrasi, dimana masyarakat hanya perlu membayar satu kali saat menaiki dua atau lebih moda transportasi umum.
Berikut adalah beberapa alternatif transportasi yang bisa digunakan untuk mobilitas sehari-hari:
Bepergian dengan menggunakan transportasi umum tentu memiliki manfaat sendiri. Selain membantu mengurangi polutan, menggunakan transportasi umum dapat menghemat pengeluaran dan tidak perlu susah mencari tempat parkir.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN di har...
Sehubungan dengan Rencana Pengadaan Tanah untuk Si...
Sehubungan dengan uji coba penutupan putaran balik...